Bismillahirrohmanirrohim

Assalamualaikumwarahmatullahiwabarakatuh

Jumat, 12 Juli 2013

Asal Mula Danau Si Losung Dan Si Pinggan


Alkisah, pada zaman dahulu di daerah Silahan,
Tapanuli Utara, hiduplah sepasang suami-istri
yang memiliki dua orang anak laki-laki. Yang
sulung bernama Datu Dalu, sedangkan yang
bungsu bernama Sangmaima. Ayah mereka
adalah seorang ahli pengobatan dan jago
silat. Sang Ayah ingin kedua anaknya itu
mewarisi keahlian yang dimilikinya. Oleh
karena itu, ia sangat tekun mengajari mereka
cara meramu obat dan bermain silat sejak
masih kecil, hingga akhirnya mereka tumbuh
menjadi pemuda yang gagah dan pandai
mengobati berbagai macam penyakit.
Pada suatu hari, ayah dan ibu mereka pergi ke
hutan untuk mencari tumbuhan obat-obatan.
Akan tetapi saat hari sudah menjelang sore,
sepasang suami-istri itu belum juga kembali.
Akhirnya, Datu Dalu dan adiknya memutuskan
untuk mencari kedua orang tua mereka.
Sesampainya di hutan, mereka menemukan
kedua orang tua mereka telah tewas diterkam
harimau.
Dengan sekuat tenaga, kedua abang-adik itu
membopong orang tua mereka pulang ke
rumah. Usai acara penguburan, ketika hendak
membagi harta warisan yang ditinggalkan oleh
orang tua mereka, keduanya baru menyadari
bahwa orang tua mereka tidak memiliki harta
benda, kecuali sebuah tombak pusaka.
Menurut adat yang berlaku di daerah itu,
apabila orang tua meninggal, maka tombak
pusaka jatuh kepada anak sulung. Sesuai
hukum adat tersebut, tombak pusaka itu
diberikan kepada Datu Dalu, sebagai anak
sulung.
Pada suatu hari, Sangmaima ingin meminjam
tombak pusaka itu untuk berburu babi di
hutan. Ia pun meminta ijin kepada abangnya.
“Bang, bolehkah aku pinjam tombak pusaka
itu?”
“Untuk keperluan apa, Dik?”
“Aku ingin berburu babi hutan.”
“Aku bersedia meminjamkan tombak itu,
asalkan kamu sanggup menjaganya jangan
sampai hilang.”
“Baiklah, Bang! Aku akan merawat dan
menjaganya dengan baik.”
Setelah itu, berangkatlah Sangmaima ke
hutan. Sesampainya di hutan, ia pun melihat
seekor babi hutan yang sedang berjalan
melintas di depannya. Tanpa berpikir panjang,
dilemparkannya tombak pusaka itu ke arah
binatang itu. “Duggg…!!!” Tombak pusaka itu
tepat mengenai lambungnya. Sangmaima pun
sangat senang, karena dikiranya babi hutan itu
sudah roboh. Namun, apa yang terjadi?
Ternyata babi hutan itu melarikan diri masuk
ke dalam semak-semak.
“Wah, celaka! Tombak itu terbawa lari, aku
harus mengambilnya kembali,” gumam
Sangmaima dengan perasaan cemas.
Ia pun segera mengejar babi hutan itu, namun
pengejarannya sia-sia. Ia hanya menemukan
gagang tombaknya di semak-semak.
Sementara mata tombaknya masih melekat
pada lambung babi hutan yang melarikan diri
itu. Sangmaima mulai panik.
“Waduh, gawat! Abangku pasti akan marah
kepadaku jika mengetahui hal ini,” gumam
Sangmaima.
Namun, babi hutan itu sudah melarikan diri
masuk ke dalam hutan. Akhirnya, ia pun
memutuskan untuk kembali ke rumah dan
memberitahukan hal itu kepada Abangnya.
“Maaf, Bang! Aku tidak berhasil menjaga
tombak pusaka milik Abang. Tombak itu
terbawa lari oleh babi hutan,” lapor
Sangmaima.
“Aku tidak mau tahu itu! Yang jelas kamu
harus mengembalikan tombok itu, apa pun
caranya,” kata Datu Dalu kepada adiknya
dengan nada kesal.”
Baiklah, Bang! Hari ini juga aku akan
mencarinya,” jawab Sangmaima.
“Sudah, jangan banyak bicara! Cepat
berangkat!” perintah Datu Dalu.
Saat itu pula Sangmaima kembali ke hutan
untuk mencari babi hutan itu. Pencariannya
kali ini ia lakukan dengan sangat hati-hati. Ia
menelesuri jejak kaki babi hutan itu hingga ke
tengah hutan. Sesampainya di tengah hutan,
ia menemukan sebuah lubang besar yang
mirip seperti gua. Dengan hati-hati, ia
menyurusi lubang itu sampai ke dalam.
Alangkah terkejutnya Sangmaima, ternyata di
dalam lubang itu ia menemukan sebuah istana
yang sangat megah.
“Aduhai, indah sekali tempat ini,” ucap
Sangmaima dengan takjub.
“Tapi, siapa pula pemilik istana ini?” tanyanya
dalam hati.
Oleh karena penasaran, ia pun memberanikan
diri masuk lebih dalam lagi. Tak jauh di
depannya, terlihat seorang wanita cantik
sedang tergeletak merintih kesakitan di atas
pembaringannya. Ia kemudian
menghampirinya, dan tampaklah sebuah mata
tombak menempel di perut wanita cantik itu.
“Sepertinya mata tombak itu milik Abangku,”
kata Sangmaima dalam hati. Setelah itu, ia
pun menyapa wanita cantik itu.
“Hai, gadis cantik! Siapa kamu?” tanya
Sangmaima.
“Aku seorang putri raja yang berkuasa di
istana ini.”
“Kenapa mata tombak itu berada di perutmu?”
“Sebenarnya babi hutan yang kamu tombak itu
adalah penjelmaanku.”
“Maafkan aku, Putri! Sungguh aku tidak tahu
hal itu.”
“Tidak apalah, Tuan! Semuanya sudah
terlanjur. Kini aku hanya berharap Tuan bisa
menyembuhkan lukaku.”
Berbekal ilmu pengobatan yang diperoleh dari
ayahnya ketika masih hidup, Sangmaima
mampu mengobati luka wanita itu dengan
mudahnya. Setelah wanita itu sembuh dari
sakitnya, ia pun berpamitan untuk
mengembalikan mata tombak itu kepada
abangnya.
Abangnya sangat gembira, karena tombak
pusaka kesayangannya telah kembali ke
tangannya. Untuk mewujudkan kegembiraan
itu, ia pun mengadakan selamatan, yaitu pesta
adat secara besar-besaran. Namun sayangnya,
ia tidak mengundang adiknya, Sangmaima,
dalam pesta tersebut. Hal itu membuat
adiknya merasa tersinggung, sehingga adiknya
memutuskan untuk mengadakan pesta sendiri
di rumahnya dalam waktu yang bersamaan.
Untuk memeriahkan pestanya, ia mengadakan
pertunjukan dengan mendatangkan seorang
wanita yang dihiasi dengan berbagai bulu
burung, sehingga menyerupai seekor burung
Ernga. Pada saat pesta dilangsungkan, banyak
orang yang datang untuk melihat pertunjukkan
itu.
Sementara itu, pesta yang dilangsungkan di
rumah Datu Dalu sangat sepi oleh pengunjung.
Setelah mengetahui adiknya juga
melaksanakan pesta dan sangat ramai
pengunjungnya, ia pun bermaksud meminjam
pertunjukan itu untuk memikat para tamu agar
mau datang ke pestanya.
“Adikku! Bolehkah aku pinjam pertunjukanmu
itu?”
“Aku tidak keberatan meminjamkan
pertunjukan ini, asalkan Abang bisa menjaga
wanita burung Ernga ini jangan sampai
hilang.”
“Baiklah, Adikku! Aku akan menjaganya
dengan baik.”
Setelah pestanya selesai, Sangmaima segera
mengantar wanita burung Ernga itu ke rumah
abangnya, lalu berpamitan pulang. Namun, ia
tidak langsung pulang ke rumahnya, melainkan
menyelinap dan bersembunyi di langit-langit
rumah abangnya. Ia bermaksud menemui
wanita burung Ernga itu secara sembunyi-
sembunyi pada saat pesta abangnya selesai.
Waktu yang ditunggu-tunggu pun tiba. Pada
malam harinya, Sangmaima berhasil menemui
wanita itu dan berkata:
“Hai, Wanita burung Ernga! Besok pagi-pagi
sekali kau harus pergi dari sini tanpa
sepengetahuan abangku, sehingga ia mengira
kamu hilang.”
“Baiklah, Tuan!” jawab wanita itu.
Keesokan harinya, Datu Dalu sangat terkejut.
Wanita burung Ernga sudah tidak di kamarnya.
Ia pun mulai cemas, karena tidak berhasil
menjaga wanita burung Ernga itu. “Aduh,
Gawat! Adikku pasti akan marah jika
mengetahui hal ini,” gumam Datu Dalu.
Namun, belum ia mencarinya, tiba-tiba
adiknya sudah berada di depan rumahnya.
“Bang! Aku datang ingin membawa pulang
wanita burung Ernga itu.
Di mana dia?” tanya Sangmaima pura-pura
tidak tahu.
“Maaf Adikku! Aku telah lalai, tidak bisa
menjaganya. Tiba-tiba saja dia menghilang
dari kamarnya,” jawab Datu Dalu gugup.
“Abang harus menemukan burung itu,” seru
Sangmaima.
“Dik! Bagaimana jika aku ganti dengan uang?”
Datu Dalu menawarkan.
Sangmaima tidak bersedia menerima ganti
rugi dengan bentuk apapun. Akhirnya
pertengkaran pun terjadi, dan perkelahian
antara adik dan abang itu tidak terelakkan
lagi. Keduanya pun saling menyerang satu
sama lain dengan jurus yang sama, sehingga
perkelahian itu tampak seimbang, tidak ada
yang kalah dan menang.
Datu Dalu kemudian mengambil lesung lalu
dilemparkan ke arah adiknya. Namun sang
Adik berhasil menghindar, sehingga lesung itu
melayang tinggi dan jatuh di kampung
Sangmaima. Tanpa diduga, tempat jatuhnya
lesung itu tiba-tiba berubah menjadi sebuah
danau. Oleh masyarakat setempat, danau
tersebut diberi nama Danau Si Losung.
Sementara itu, Sangmaima ingin membalas
serangan abangnya. Ia pun mengambil piring
lalu dilemparkan ke arah abangnya. Datu Dalu
pun berhasil menghindar dari lemparan
adiknya, sehingga piring itu jatuh di kampung
Datu Dalu yang pada akhirnya juga menjadi
sebuah danau yang disebut dengan Danau Si
Pinggan.
Demikianlah cerita tentang asal-mula
terjadinya Danau Si Losung dan Danau Si
Pinggan di daerah Silahan, Kecamatan Lintong
Ni Huta, Kabupaten Tapanuli Utara.
Cerita di atas termasuk ke dalam cerita rakyat
teladan yang mengandung pesan-pesan moral.
Ada dua pesan moral yang dapat diambil
sebagai pelajaran, yaitu agar tidak bersifat
curang dan egois.
- sifat curang. Sifat ini tercermin pada sifat
Sangmaima yang telah menipu abangnya
dengan menyuruh wanita burung Ernga pergi
dari rumah abangnya secara sembunyi-
sembunyi, sehingga abangnya mengira wanita
burung Ernga itu hilang. Dengan demikian,
abangnya akan merasa bersalah kepadanya.
- sifat egois. Sifat ini tercermin pada perilaku
Sangmaima yang tidak mau memaafkan
abangnya dan tidak bersedia menerima ganti
rugi dalam bentuk apapun dari abangnya.
note: Ernga – kumbang hijau yang menyerupai
burung, yang sangat nyaring suaranya ketika
menjerit pada waktu maghrib.

Dikutip dari sini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TAPANULI NADEGES BLOGNYA ORANG TAPANULI

Masyarakat Tapanuli juga bisa berperan dalam mengirimkan berita tentang tapanuli, baik itu budaya, adat istiadat, peristiwa alam, perjalanan, maupun karya seni seperti photo video, cerpen dll. dapat dikirimkan ke email: tapanulinadeges@gmail.com http://tapanulinadeges.blogspot.com/2013/11/mari-kirimkan-karyamu-ke-tapanuli.html

Tapanuli Tanah yang kaya dan masyarakatnya beradat
Assalamualaikumwarahmatullahiwabarakatuh