Bismillahirrohmanirrohim

Assalamualaikumwarahmatullahiwabarakatuh

Jumat, 29 Maret 2013

Karo Bukan Batak

Sejarah Suku Karo
MIGRASI
Pada pra- sejarah terjadi perpindahan bangsa-
bangsa termasuk di Asia yang khusus ke
Indonesia datang dari Asia Selatan dan
Tenggara . Percampuran darah terjadi antar
bangsa- bangsa tersebut dengan penduduk
yang telah bermukim sebelumnya di
Nusantara ini merupakan nenek moyang kita
dan pada umumnya yang mendiami pesisir
sebagai orang bahari.
Menurut Versi Karo : Leluhur hidup dari
menangkap ikan , bertani, berburu,
berdagang , mengarungi samudra luas. Hal ini
diceritakan bersambung hampir setiap malam
di lantai lumbung padi yang dinamakan
‘Jambur’ dari purbakala hingga menjelang
tahun 1940 di daerah yang penduduknya suku
Karo .
Cerita yang bersambung mengenai seluk beluk
asal muasal suku Karo , kebudayaan, bahasa
dan adat istiadat serta perjuangan hidupnya
biasanya di namakan ‘Turi- turin atau Terombo
Karo’. Setiap cerita ditayangkan melalui lagu
merdu pada malam hari sampai dini hari
selama tujuh malam.
Aku dulu pernah mendengarkan cerita
bersambung itu sebelum memasuki bangku
sekolah. Karena sudah dilalui puluhan tahun,
bisa jadi ada kelupaan dalam menguraikan inti
sarinya, terutama pencocokan daerah kejadian
saat dipergunakan pengetahuan umum
geografi dan sejarah dunia atau nasional
dalam keadaan tertentu menurut suasana
hikayatnya.
Pada pokok hikayat di uraikan bahwa nenek
moyang itu datang ke pesisir Indonesia
umumnya dan Sumatera khususnya yang
menurut logat mereka “reh ku pertibi si la
ertepi enda” dari dua “negeri nini pemena”
yaitu leluhur Pemula, datang dari dari negeri
yang disebut “YUNA ( YUNAN )” ialah dari Cina
Selatan dan Asia Tenggara serta “BARAT”
yakni Asia Selatan (India , Pakistan,
Banglades, dan lain- lain).
Yang datang dari negeri “Yuna” itu masih
tergolong “animisme” atau “agama pemena”,
sedangkan yang bersal dari “Barat” sudah
beragama, yaitu agama Budha. Suku- suku
bangsa pesisir yang saling bercampur darah
(perkawinan) sesamanya inilah merupakan
nenek moyang suku Karo setelah kelak masuk
ke daerah pedalaman (Pembauran).
PEMUKIMAN DATARAN TINGGI KARO
Leluhur kita yang yang bermukim disepanjang
pesisir Sumatera berkembang memeluk
kepercayaan yang beraneka ragam yaitu
animisme, Budha, Hindu, dan lain lain,
sebelum maupun sesudah berdiri Negara
Nasional I (Kedatuan Sriwijaya) dan Negara
Nasional II (Keprabuan Majapahit) antara
abat VII- XVI.
Karena pekerjaan nenek moyang kita selaku
kaum bahari dan pedagang, maka sudah jelas
merekapun bergaullah dengan orang asing
yang memeluk pelbagai agama, termasuk
Muslim, sehingga kian lama makin banyaklah
agama yang dianut penduduk.
Perbedaan agama pun tak dapat dihindahkan.
Yang dalam turi- turi Karo diceritakan bahwa
dalam satu keluarga mungkin terdapat dua
atau atau beberapa kepercayaan yang
berlainan, antara satu dengan yang lainnya.
Begitu juga bangsa asing yang memeluk
pelbagai macam agama datang ke Indonesia
untuk berdagang sambil menyiarkan
agamanya masing- masing. Selain membawa
keagamaan juga mengenai kebudayaan yang
mempengaruhi tata kehidupan pendududk.
Demikianlah seorang pedagang Venesia
benama Marcopola pada tahun 1292 telah
menyaksikan perkembangan pesat penyiaran
agama Islam didaerah Aceh yaitu Samudera
Pasai dan Peureulak. Pada tahun 1345,
menutut Ibnu Batulah, sudah mapan benar
agama Islam sebagai anutan penduduk Di
Samudra Pasai, yang keterangannya ini
diperkuat pula oleh musyapir Cina bernama
Ceng Ho, yang berkunjung ke daerah tersebut
tahun 1405.
Menurut versi karo, pada masa- masa itulah
terjadi perubahan tata kemasyarakatan yaitu
kaum yang tak hendak memeluk agama Islam
membentuk kelompok – kelompok . Lalu
berpindah ke daerah pedalaman
meninggalakan sanak keluarga yang telah
mayoritas beragama Islam. Kemudian agama
Islam meluas berkembang sepanjang pesisir;
terutama dalam pemerintahan Sultan Iskandar
Muda (1607 – 1636).
Kemudian maka terjadilah apa yang
dinamakan “Mburo Bicok Pertibin”, yaitu
mengadakan pengungsian secara besar-
besaran dengan bertekad untuk tidak akan
kembali lagi ke negeri asal buat selama-
lamanya. Diceritakan pada masa itu hutan
raya di daerah pedalaman belum dihuni oleh
manusia .
Bahasa “kita” ialah cakap melawi — , yang
kemudian berubah seperti yang sekarang ini.
Perubahan bahasa terjadi akibat peroses
pembauran melalui puak- puak yang saling
mempengaruhi satu dengan lainnya dalam
kehidupan adalah logis. Sebagian mereka yang
masuk kepedalaman dari arah pantai Timur
maupun dari arah pantai Barat, pulau
Sumatera.
Mereka yang tertinggal adalah sudah memeluk
agama Islam dan hijrah tidak hendak memeluk
Islam. Perjalanan memasuki rimba hutan
belantara itu, sangat sukar, perlu ada
pemimpin atau Panglimanya. Mereka masuk
dan beranggapan bahwa ditempat yang dituju
itu religinya/kepercayannya itu akan aman
dilanjutkan sebagai warisan nenek
moyangnya.
Diketahui dalam hikayat bahwa pemeluk
Islam, selalu mangadakan pendekatan dengan
saudara-saudaranya yang kini berada di
wilayah pegunungan dan bergaul saling
berkunjung, akhirnya, kaum yang tadinya
mempertahankan kebiasaan memuja religi
nenek moyangnya itu pelan-pelan ditinggal
mereka dan mereka memeluk Islam. Atau
diam- diam status quo, sementara
menimbang- nimbang mana patut dilanjutkan
dan mana patut diterima, atau ditolak.
Selanjutnya perjalanan yang sedemikian
jauhnya yang disebut ke-dataran tinggi
dinyatakan sebagi “taneh tumpah darah” yang
baru kemudian di berikan nama “TANAH KARO
SI MALEM”
PERTIBI PERTENDIN MERGA SI LIMA SI
ENGGO KA REH IBAS DESA SI WALUH NARI
“Tanah Karo Si Malem” artinya : peryataan
bahwa tanah tumpah darah yang baru itu
nyaman, hidup atau mijati, akan
dipertahankan selamanya. Pertibi Pertendin
Merga Silima artinya: Dibata yang telah
menetapkan daerah ini untuk pemukiman
kaum yang LIMA MARGA terdiri dari : Karo-
Karo , Ginting, Sembiring, Tarigan , Perangin-
angin.
“Sienggo ka reh ibas desa siwaluhn nari”
artinya: untuk jangka waktu yang lama tak
henti- hentinya datang rombongan pengungsi
dari segala penjurui mata angin (delapan
penjuru) kedataran tinggi, sehingga menjadi
buah bibir setiap ada rombongnan terlihat
datang dari pesisir, terucaplah kata- kata,
enggo ka reh… enggo kalakreh enggo
kalakreh…( Kareh ) kemudian berubah
sebutannya kalak reh, kareh … kare, Karo ,
menjadi … KARO, yang artinya kalak= orang .
reh = datang, Karo = orang datang.
Artinya menjadi; orang yang datang sengaja
mengungsi untuk mempertahankan religinya/
kepercayaaannya. Mereka datang dan
mengharukan, sebab perjalan mereka itupun
jauh, lebih kita terharu, KALAK AROE = KARO
Mereka itu melanglang, berani, harus keras
hati, mandiri, budi luhur tetapi suka
bermusyawarah dan mau menerima atau tidak
kaku.
Terlihat dalam perkembangannya Merga Karo-
Karo, Perangin-angin , Sembiring sebelum
berangkat meninggalkan leluhurnya di “Barat”
tempo dulu sudah memiliki Indentitas berupa
Merga dan Cabang Merga ,seperti Merga
Ginting dan Merga Tarigan bersasal dari YUna
(Wilayah Selatan ; bahkan ada hubungan atas
serangan Mongolia dari utara Jengis Khan dsb)
.
Jatidiri berupa “Merga” telah disandang turun
temurun. Oleh karena itu sekalipun kelompok
itu baru tiba akan mendapat kemudahan untuk
mengelompokkannya sesuai Merga yang
disebutkan orang yang baru datang. Di Suku
Karo hanya ada LIMA MARGA, dan memiliki
cabang untuk setiap marga. Sekalipun ada
cabang-cabang tiap Marga, tapi tidak terlalu
banyak, tidak mencapai ratusan jumlahnya
keseluruhannya. Keseluruhan cabang Merga
Silima hanya ada 75 cabang.
Meneliti sejarah maka pemukiman orang Karo
di dataran tinggi diperkirakan pengungsian
awal sekitar tahun 1350-an dan terbanyak
tatkala pemerintahan Sultan Iskandar Muda
tahun 1660-an sehingga disimpulkan bahwa
sudah ada orang Karo tahun 1300-an.
Orang Karo yang datang dengan rombongan
tepo dulu ke hutan rimba raya tidaklah besar,
sekalipun persyaratannya berangkat “KUH
SANGKEP SITELU ” yaitu Kalimbubu,Senina,
Anak Beru . Contohnya dalam cerita bahwa
rombongan KARO mergana , berangkat dari
LINGGA RAJA menuju dataran tinggi,
sampailah di puncak “Deleng Penolihen” yaitu
pegunungan antara “Tiga Lingga – Tiga
Binanga” terpaksa di tunda perjalannya.
Sekalipun jumlah rombongan sebelas, tetapi
tertinggal anak beru-nya Perangin- angin
mergana. Terpaksa di jemput lagi kearah asal
atau memberi gantinya sebagai “anak beru”.
Terpenuhilah syarat tadi , tiba mereka disuatu
lokasi dan mendirikan “KUTA LINGGA
PAYUNG”. Sejak itu nama bukit barisan
diantara Karo – Dairi disebutkan oleh orang
Karo “Deleng Kuh Sangkep”. Setiapa orang
Karo mesti dapat dimasukkan dalam salah
satu diantara lima marga tersebut diatas,
sebab barang siapa yang yang tidak hendak
memakai indentitas demikian, tidak akan
diakui sebagai “Kalak Karo” yang dinamakan
“nasap tapak nini”, misalnya, banyak dahulu
terjadi orang yang “tercela ahlaknya ” di
desanya lalu merantau ke-negeri lain tanpa
mejunjujung tinggi merganya atau
menggantinya, orang yang memeluk agama
Islam dengan menghilangkan indentitasnya itu
seraya mengaku orang Melayu kampung atau
“kalak Maya- Maya” terutama di Karo Jahe ”
dan lain- lain .
Tetapi sebaliknya setelah terbentuk SUKU
KARO, dahulu ada orang dari suku lain
sekalipun yang oleh sebab misalnya,
mengadakan perkawinan dengan orang Karo
bisa diterima Bermerga atau memiliki Beru
pada salah satu merga diantara yang lima
tersebut. “Merga” ialah indentitas pria yang
diturunkan terhadap putrinya akan dinamakan
“beru”. Beru adalah indentitas wanita yang
diturunkan terhapa putra – putrinya
umpamanya , beru Karo, diturunkan kepada
putra putrinya dengan sebutan bere- bere
Karo.
Semua indentistas tersebut merupakan
lambang suci yang dalam bahasa Karo
dinamakan “Tanda Kemuliaan” yang gunanya
untuk menghitung berapa tingkat keturunan
telah berlangsung merga bersangkutan hingga
dirinya sendiri sejak dari nenek moyang yang
dahulu berangkat dari negeri asalnya ” yaitu
(Barat) bagi keturunan Karo- Karo , Perangin-
angin dan Sembiring, sedangkan “Yuna” untuk
Ginting serta Tarigan.
Hitungan jumlah tingkat keturunan itu
dinamakan “Beligan Kesunduten Nini Adi”
yang dahulu turun temurun diceritakan
sehingga tahulah sesorang akan asal usul dan
nenek moyangnya. Putra-Putri yang
seketurunan pantang mengadakan kawin
mawin sesmanya, sebab indetitasnyaq akan
sama buat selama- lamanya, kendatipun
dengan memakai “Sub Merga”,yaitu “nama
khusus ” yang diciptakan berdasarkan keluarga
tertentu dalam suatu desa dan atau sesuatu
peristiwa dahulu yang merupakan aliran darah
khas pula ,namun harus tunduk kepada pokok
merga ,Merga Silima.
Jadi orang Karo terbentuk dari bermacam-
macam suku atau puak bangsa yang oleh
pengaruh lingkungan daerahnya membentuk
watak, adat istiadat dan masyrakatnya yang
tertentu yang mempunyai perasamaan serta
perbedaaan dengan suku- suku bangsa
Indonesia lainnya, namun bersifat “mandiri”
dalam arti sejak dahulu bebas merdeka
mengatur pemerintahannnya.
Akan tetapi karena Tanah karo merupakan
daerah pedalaman yang tidak akan dapat
berswasembada dalam segala hal akan
kebutuhan hidupnya, maka terpaksa jugalah
mereka mengadakan hubungan dengan “suku”
atau “bangsa lain” terutama mengenai bahan
makanan seperti garam yang disebut “Sira”
Mereka langsung menyebarkan penduduknya
keluar batas dataran tinggi karo yang berguna
sebagai daerah pengubung dan penyangga
serangan dari luar yang menurut logat mereka
dinamakan “Negeri Perlanja Sira Ras Pulu
Dagang ” yang kini daerah- daerah tersebut
ialah Aceh Tenggara , Dairi, Tapanuli Utara,
Simalungun, Asahan, Deli Serdang, dan
Langkat.
Pulu dagang ialah pedagang yang membeli
garam dan lain lain di pesisir seperti di
Langkat, Deli Serdang, Asahan , dan Singkel
yang di angkut ke ‘Taneh Pengolihen – Tanah
Karo ” oleh satu rombongan manusia yang
diberi nama julukan Perlanja Sira, meski ada
juga mempergunakan “Kuda Beban” sebagai
alat pengangkutannya. Setiap rombongan
perlanja Sira dikawal oleh pasukan bersenjata,
sebab waktu itu di Deleng Kuh Sangkep (nama
bukit barisan yang terletak di bagaian selatan
Tanah Karo) maupun di Deleng Merga Silima
(nama Bukit Barisan dibagian datyaran tinggi
Karo) banyak penyamun serta binatang buas.
Untuk nmengenal kawan dipailah kata “sandi
atau kode” di pegunungan sebelah utara tanah
Karo setiap berpapasan dengan rombongan
manusia lain diucapkan “Merga” yang kalu
kawan menjawab..”Si Lima” yang dilanjutkan
dengan. Taneh Pengolihen yang dijawab
teman “Karo Simalem” bila mana tidak sesuai
jawabnya dianggap “musuh”, demikian
sekelumit ceritanya maka nama pegunungan
yang puncak- puncaknya antara lain gunung
Sinabung- Sibayak dinamakan orang Karo
deleng Merga silima.

Dikutip dari http://karobukanbatak.wordpress.com/2011/06/17/sejarah-suku-karo/

1 komentar:

  1. Memang Karo bukan Batak dijelaskan lagi di dalam buku berikut:

    ORANG TOBA: Asal-usul, Jatidiri, dan Mitos Sianjur Mulamula
    http://sopopanisioan.blogspot.co.id/2015/09/buku-telah-terbit.html

    BalasHapus

TAPANULI NADEGES BLOGNYA ORANG TAPANULI

Masyarakat Tapanuli juga bisa berperan dalam mengirimkan berita tentang tapanuli, baik itu budaya, adat istiadat, peristiwa alam, perjalanan, maupun karya seni seperti photo video, cerpen dll. dapat dikirimkan ke email: tapanulinadeges@gmail.com http://tapanulinadeges.blogspot.com/2013/11/mari-kirimkan-karyamu-ke-tapanuli.html

Tapanuli Tanah yang kaya dan masyarakatnya beradat
Assalamualaikumwarahmatullahiwabarakatuh