Bismillahirrohmanirrohim

Assalamualaikumwarahmatullahiwabarakatuh

Jumat, 29 Maret 2013

Sekilas Tentang Suku Batak

Dikutip dari Wikipedia

Batak merupakan salah satu suku bangsa di
Indonesia. Nama ini merupakan sebuah tema
kolektif untuk mengidentifikasikan beberapa
suku bangsa yang bermukim dan berasal dari
Tapanuli dan Sumatera Timur, di Sumatera
Utara. Suku bangsa yang dikategorikan
sebagai Batak adalah: Batak Toba, Batak Karo,
Batak Pakpak, Batak Simalungun, Batak
Angkola, dan Batak Mandailing.
Saat ini pada umumnya orang Batak menganut
agama Kristen Protestan, Kristen Katolik, dan
Islam Sunni. Tetapi ada pula yang menganut
kepercayaan tadisional yakni: tradisi Malim
dan juga menganut kepercayaan animisme
(disebut Sipelebegu atau Parbegu), walaupun
kini jumlah penganut kedua ajaran ini sudah
semakin berkurang.
Sejarah
Orang Batak adalah penutur bahasa
Austronesia namun tidak diketahui kapan
nenek moyang orang Batak pertama kali
bermukim di Tapanuli dan Sumatera Timur.
Bahasa dan bukti-bukti arkeologi menunjukkan
bahwa orang yang berbahasa Austronesia dari
Taiwan telah berpindah ke wilayah Filipina dan
Indonesia sekitar 2.500 tahun lalu, yaitu di
zaman batu muda (Neolitikum). [2]Karena
hingga sekarang belum ada artefak Neolitikum
(Zaman Batu Muda) yang ditemukan di
wilayah Batak maka dapat diduga bahwa
nenek moyang Batak baru bermigrasi ke
Sumatera Utara di zaman logam. Pada abad
ke-6, pedagang-pedagang Tamil asal India
mendirikan kota dagang Barus, di pesisir barat
Sumatera Utara. Mereka berdagang kapur
Barus yang diusahakan oleh petani-petani di
pedalaman. Kapur Barus dari tanah Batak
bermutu tinggi sehingga menjadi salah satu
komoditas ekspor di samping kemenyan. Pada
abad ke-10, Barus diserang oleh Sriwijaya. Hal
ini menyebabkan terusirnya pedagang-
pedagang Tamil dari pesisir Sumatera[3].
Pada masa-masa berikutnya, perdagangan
kapur Barus mulai banyak dikuasai oleh
pedagang Minangkabau yang mendirikan
koloni di pesisir barat dan timur Sumatera
Utara. Koloni-koloni mereka terbentang dari
Barus, Sorkam, hingga Natal[4]. Batak
merupakan salah satu suku bangsa di
Indonesia. Nama ini merupakan sebuah tema
kolektif untuk mengidentifikasikan beberapa
suku bangsa yang bermukim dan berasal dari
Tapanuli dan Sumatera Timur, di Sumatera
Utara. Suku bangsa yang dikategorikan
sebagai Batak adalah: Batak Toba, Batak Karo,
Batak Pakpak, Batak Simalungun, Batak
Angkola, dan Batak Mandailing.
Mayoritas orang Batak menganut agama
Kristen dan sisanya beragama Islam. Tetapi
ada pula yang menganut agama Malim dan
juga menganut kepercayaan animisme
(disebut Sipelebegu atau Parbegu), walaupun
kini jumlah penganut kedua ajaran ini sudah
semakin berkurang.
↑Kembali Ke Bagian Sebelumnya
Identitas Batak
R.W Liddle mengatakan, bahwa sebelum abad
ke-20 di Sumatra bagian utara tidak terdapat
kelompok etnis sebagai satuan sosial yang
koheren. Menurutnya sampai abad ke-19,
interaksi sosial di daerah itu hanya terbatas
pada hubungan antar individu, antar kelompok
kekerabatan, atau antar kampung. Dan hampir
tidak ada kesadaran untuk menjadi bagian dari
satuan-satuan sosial dan politik yang lebih
besar.[5] Pendapat lain mengemukakan,
bahwa munculnya kesadaran mengenai
sebuah keluarga besar Batak baru terjadi pada
zaman kolonial.[6] Dalam disertasinya J.
Pardede mengemukakan bahwa istilah "Tanah
Batak" dan "rakyat Batak" diciptakan oleh
pihak asing. Sebaliknya, Siti Omas Manurung,
seorang istri dari putra pendeta Batak Toba
menyatakan, bahwa sebelum kedatangan
Belanda, semua orang baik Karo maupun
Simalungun mengakui dirinya sebagai Batak,
dan Belandalah yang telah membuat
terpisahnya kelompok-kelompok tersebut.
Sebuah mitos yang memiliki berbagai macam
versi menyatakan, bahwa Pusuk Buhit, salah
satu puncak di barat Danau Toba, adalah
tempat "kelahiran" bangsa Batak. Selain itu
mitos-mitos tersebut juga menyatakan bahwa
nenek moyang orang Batak berasal dari
Samosir.
Terbentuknya masyarakat Batak yang tersusun
dari berbagai macam marga, sebagian
disebabkan karena adanya migrasi keluarga-
keluarga dari wilayah lain di Sumatra.
Penelitian penting tentang tradisi Karo
dilakukan oleh J.H Neumann, berdasarkan
sastra lisan dan transkripsi dua naskah
setempat, yaitu Pustaka Kembaren dan
Pustaka Ginting. Menurut Pustaka
Kembaren, daerah asal marga Kembaren dari
Pagaruyung di Minangkabau. Orang Tamil
diperkirakan juga menjadi unsur pembentuk
masyarakat Karo. Hal ini terlihat dari
banyaknya nama marga Karo yang diturunkan
dari Bahasa Tamil. Orang-orang Tamil yang
menjadi pedagang di pantai barat, lari ke
pedalaman Sumatera akibat serangan pasukan
Minangkabau yang datang pada abad ke-14
untuk menguasai Barus.[7]
↑Kembali Ke Bagian Sebelumnya
Penyebaran agama
Kabupaten-kabupaten di Sumatera Utara yang
diwarnai, memiliki mayoritas penduduk Batak.
Masuknya Islam
Dalam kunjungannya pada tahun 1292, Marco
Polo melaporkan bahwa masyarakat Batak
sebagai orang-orang "liar" dan tidak pernah
terpengaruh oleh agama-agama dari luar.
Meskipun Ibn Battuta, mengunjungi Sumatera
Utara pada tahun 1345 dan mengislamkan
Sultan Al-Malik Al-Dhahir, masyarakat Batak
tidak pernah mengenal Islam sebelum
disebarkan oleh pedagang Minangkabau.
Bersamaan dengan usaha dagangnya, banyak
pedagang Minangkabau yang melakukan
kawin-mawin dengan perempuan Batak. Hal
ini secara perlahan telah meningkatakan
pemeluk Islam di tengah-tengah masyarakat
Batak.[8] Pada masa Perang Paderi di awal
abad ke-19, pasukan Minangkabau menyerang
tanah Batak dan melakukan pengislaman
besar-besaran atas masyarakat Mandailing
dan Angkola. Namun penyerangan Paderi atas
wilayah Toba, tidak dapat mengislamkan
masyarakat tersebut, yang pada akhirnya
mereka menganut agama Kristen Protestan
dan Kristen Katolik.[9]Kerajaan Aceh di utara,
juga banyak berperan dalam mengislamkan
masyarakat Karo dan Pakpak. Sementara
Simalungun banyak terkena pengaruh Islam
dari masyarakat Melayu di pesisir Sumatera
Timur
Misionaris Kristen
Lihat pula: Sejarah masuknya Kekristenan ke
suku Batak
Pada tahun 1824, dua misionaris Baptist asal
Inggris, Richard Burton dan Nathaniel Ward
berjalan kaki dari Sibolga menuju pedalaman
Batak.[10] Setelah tiga hari berjalan, mereka
sampai di dataran tinggi Silindung dan
menetap selama dua minggu di pedalaman.
Dari penjelajahan ini, mereka melakukan
observasi dan pengamatan langsung atas
kehidupan masyarakat Batak. Pada tahun
1834, kegiatan ini diikuti oleh Henry Lyman
dan Samuel Munson dari Dewan Komisaris
Amerika untuk Misi Luar Negeri.[11]
Pada tahun 1850, Dewan Injil Belanda
menugaskan Herman Neubronner van der
Tuuk untuk menerbitkan buku tata bahasa dan
kamus bahasa Batak - Belanda. Hal ini
bertujuan untuk memudahkan misi-misi
kelompok Kristen Belanda dan Jerman
berbicara dengan masyarakat Toba dan
Simalungun yang menjadi sasaran
pengkristenan mereka.[12].
Misionaris pertama asal Jerman tiba di lembah
sekitar Danau Toba pada tahun 1861, dan
sebuah misi pengkristenan dijalankan pada
tahun 1881 oleh Dr. Ludwig Ingwer
Nommensen. Kitab Perjanjian Baru untuk
pertama kalinya diterjemahkan ke bahasa
Batak Toba oleh Nommensen pada tahun 1869
dan penerjemahan Kitab Perjanjian Lama
diselesaikan oleh P. H. Johannsen pada tahun
1891. Teks terjemahan tersebut dicetak dalam
huruf latin di Medan pada tahun 1893.
Menurut H. O. Voorma, terjemahan ini tidak
mudah dibaca, agak kaku, dan terdengar aneh
dalam bahasa Batak.[13]
Selanjutnya Misi Katolik di Tanah Batak
terhitung sejak Pastor Misionaris pertama
yakni Pastor Sybrandus van Rossum,
OFM.Cap masuk ke jantung Tanah Batak,
yakni Balige tanggal 5 Desember 1934.
Masyarakat Toba dan sebagian Karo menyerap
agama Kristen dengan cepat, dan pada awal
abad ke-20 telah menjadikan Kristen sebagai
identitas budaya[14]. Pada masa ini
merupakan periode kebangkitan kolonialisme
Hindia-Belanda, dimana banyak orang Batak
sudah tidak melakukan perlawanan lagi
dengan pemerintahan kolonial. Perlawanan
secara gerilya yang dilakukan oleh orang-
orang Batak Toba berakhir pada tahun 1907,
setelah pemimpin kharismatik mereka,
Sisingamangaraja XII wafat.[15]
Gereja HKBP
Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP)
telah berdiri di Balige pada bulan September
1917. Pada akhir tahun 1920-an, sebuah
sekolah perawat memberikan pelatihan
perawatan kepada bidan-bidan disana.
Kemudian pada tahun 1941, Gereja Batak Karo
Protestan (GBKP) didirikan.[16]
Gereja Katolik di Tanah Batak
Misi Katolik masuk ke Tanah Batak setelah
Zending Protestan berada di sana selama 73
tahun. Daerah-daerah yang padat
penduduknya serta daerah-daerah yang subur
sudah menjadi “milik” Protestan. Menurut
Sybrandus van Rossum dalam tulisannya
berjudul “Matahari Terbit di Balige” bahwa
pada tahun 1935 orang Batak yang sudah
dibaptis di Protestan mencapai lebih kurang
450.000 orang. Lembaga pendidikan dan
kesehatan sudah berada di tangan Zending.
Zending juga sudah mempunyai kader-kader
yang tangguh baik dalam masyarakat maupun
dalam pemerintahan. Dalam situasi seperti
itulah Misi Katolik masuk ke Tanah Batak.
↑Kembali Ke Bagian Sebelumnya
Kepercayaan
Sebuah kalender Batak yang terbuat dari
tulang, dari abad ke-20. Dimiliki oleh Museum
Anak di Indianapolis.
Sebelum suku Batak Toba menganut agama
Kristen Protestan, mereka mempunyai sistem
kepercayaan dan religi tentang Mulajadi
Nabolon yang memiliki kekuasaan di atas
langit dan pancaran kekuasaan-Nya terwujud
dalam Debata Natolu.
Menyangkut jiwa dan roh, suku Batak Toba
mengenal tiga konsep, yaitu:
Tondi : adalah jiwa atau roh seseorang
yang merupakan kekuatan, oleh karena itu
tondi memberi nyawa kepada manusia.
Tondi di dapat sejak seseorang di dalam
kandungan.Bila tondi meninggalkan badan
seseorang, maka orang tersebut akan sakit
atau meninggal, maka diadakan upacara
mangalap (menjemput) tondi dari sombaon
yang menawannya.
Sahala : adalah jiwa atau roh kekuatan
yang dimiliki seseorang. Semua orang
memiliki tondi, tetapi tidak semua orang
memiliki sahala. Sahala sama dengan
sumanta, tuah atau kesaktian yang dimiliki
para raja atau hula-hula.
Begu : adalah tondi orang telah meninggal,
yang tingkah lakunya sama dengan tingkah
laku manusia, hanya muncul pada waktu
malam.
Demikianlah religi dan kepercayaan suku
Batak yang terdapat dalam pustaha. Walaupun
sudah menganut agama Kristen dan
berpendidikan tinggi, namun orang Batak
belum mau meninggalkan religi dan
kepercayaan yang sudah tertanam di dalam
hati sanubari mereka.
↑Kembali Ke Bagian Sebelumnya
Salam Khas Batak
Tiap puak Batak memiliki salam khasnya
masing masing. Meskipun suku Batak terkenal
dengan salam Horasnya, namun masih ada
dua salam lagi yang kurang populer di
masyarakat yakni Mejuah juah dan Njuah juah.
Horas sendiri masih memiliki penyebutan
masing masing berdasarkan puak yang
menggunakannya
1. Pakpak “Njuah-juah Mo Banta Karina!”
2. Karo “Mejuah-juah Kita Krina!”
3. Toba “Horas Jala Gabe Ma Di Hita
Saluhutna!”
4. Simalungun “Horas banta Haganupan,
Salam Habonaran Do Bona!”
5. Mandailing dan Angkola “Horas Tondi
Madingin Pir Ma Tondi Matogu, Sayur Matua
Bulung!”
↑Kembali Ke Bagian Sebelumnya
Kekerabatan
Kekerabatan adalah menyangkut hubungan
hukum antar orang dalam pergaulan hidup.
Ada dua bentuk kekerabatan bagi suku Batak,
yakni berdasarkan garis keturunan (genealogi)
dan berdasarkan sosiologis, sementara
kekerabatan teritorial tidak ada.
Bentuk kekerabatan berdasarkan garis
keturunan (genealogi) terlihat dari silsilah
marga mulai dari Si Raja Batak, dimana semua
suku bangsa Batak memiliki marga. Sedangkan
kekerabatan berdasarkan sosiologis terjadi
melalui perjanjian (padan antar marga
tertentu) maupun karena perkawinan. Dalam
tradisi Batak, yang menjadi kesatuan Adat
adalah ikatan sedarah dalam marga, kemudian
Marga. Artinya misalnya Harahap, kesatuan
adatnya adalah Marga Harahap vs Marga
lainnya. Berhubung bahwa Adat Batak/Tradisi
Batak sifatnya dinamis yang seringkali
disesuaikan dengan waktu dan tempat
berpengaruh terhadap perbedaan corak tradisi
antar daerah.
Adanya falsafah dalam perumpamaan dalam
bahasa Batak Toba yang berbunyi: Jonok
dongan partubu jonokan do dongan
parhundul . merupakan suatu filosofi agar
kita senantiasa menjaga hubungan baik
dengan tetangga, karena merekalah teman
terdekat. Namun dalam pelaksanaan adat,
yang pertama dicari adalah yang satu marga,
walaupun pada dasarnya tetangga tidak boleh
dilupakan dalam pelaksanaan Adat.
Rumah Adat Batak Toba
↑Kembali Ke Bagian Sebelumnya
Falsafah dan sistem kemasyarakatan
Masyarakat Batak memiliki falsafah, azas
sekaligus sebagai struktur dan sistem dalam
kemasyarakatannya yakni yang dalam Bahasa
Batak Toba disebut Dalihan na Tolu. Berikut
penyebutan Dalihan Natolu menurut keenam
puak Batak
1. Dalihan Na Tolu (Toba) • Somba Marhula-
hula • Manat Mardongan Tubu • Elek Marboru
2. Dalian Na Tolu (Mandailing dan Angkola) •
Hormat Marmora • Manat Markahanggi • Elek
Maranak Boru
3. Tolu Sahundulan (Simalungun) •
Martondong Ningon Hormat, Sombah •
Marsanina Ningon Pakkei, Manat • Marboru
Ningon Elek, Pakkei
4. Rakut Sitelu (Karo) • Nembah Man
Kalimbubu • Mehamat Man Sembuyak • Nami-
nami Man Anak Beru
5. Daliken Sitelu (Pakpak) • Sembah Merkula-
kula • Manat Merdengan Tubuh • Elek
Marberru
Hulahula/Mora adalah pihak keluarga dari
isteri. Hula-hula ini menempati posisi yang
paling dihormati dalam pergaulan dan adat-
istiadat Batak (semua sub-suku Batak)
sehingga kepada semua orang Batak
dipesankan harus hormat kepada Hulahula
(Somba marhula-hula).
Dongan Tubu/Hahanggi disebut juga
Dongan Sabutuha adalah saudara laki-laki
satu marga. Arti harfiahnya lahir dari perut
yang sama. Mereka ini seperti batang
pohon yang saling berdekatan, saling
menopang, walaupun karena saking
dekatnya kadang-kadang saling gesek.
Namun, pertikaian tidak membuat
hubungan satu marga bisa terpisah.
Diumpamakan seperti air yang dibelah
dengan pisau, kendati dibelah tetapi tetap
bersatu. Namun demikian kepada semua
orang Batak (berbudaya Batak) dipesankan
harus bijaksana kepada saudara semarga.
Diistilahkan, manat mardongan tubu.
Boru/Anak Boru adalah pihak keluarga yang
mengambil isteri dari suatu marga
(keluarga lain). Boru ini menempati posisi
paling rendah sebagai 'parhobas' atau
pelayan, baik dalam pergaulan sehari-hari
maupun (terutama) dalam setiap upacara
adat. Namun walaupun berfungsi sebagai
pelayan bukan berarti bisa diperlakukan
dengan semena-mena. Melainkan pihak
boru harus diambil hatinya, dibujuk,
diistilahkan: Elek marboru.
Namun bukan berarti ada kasta dalam sistem
kekerabatan Batak. Sistem kekerabatan
Dalihan na Tolu adalah bersifat kontekstual.
Sesuai konteksnya, semua masyarakat Batak
pasti pernah menjadi Hulahula, juga sebagai
Dongan Tubu, juga sebagai Boru. Jadi setiap
orang harus menempatkan posisinya secara
kontekstual.
Sehingga dalam tata kekerabatan, semua
orang Batak harus berperilaku 'raja'. Raja
dalam tata kekerabatan Batak bukan berarti
orang yang berkuasa, tetapi orang yang
berperilaku baik sesuai dengan tata krama
dalam sistem kekerabatan Batak. Maka dalam
setiap pembicaraan adat selalu disebut Raja ni
Hulahula, Raja no Dongan Tubu dan Raja ni
Boru.
Ritual kanibalisme
Pejuang Batak
Ritual kanibalisme telah terdokumentasi
dengan baik di kalangan orang Batak, yang
bertujuan untuk memperkuat tondi pemakan
itu. Secara khusus, darah, jantung, telapak
tangan, dan telapak kaki dianggap sebagai
kaya tondi.
Dalam memoir Marco Polo yang sempat
datang berekspedisi dipesisir timur Sumatera
dari bulan April sampai September 1292, ia
menyebutkan bahwa ia berjumpa dengan
orang yang menceritakan akan adanya
masyarakyat pedalaman yang disebut sebagai
"pemakan manusia".[17] Dari sumber-sumber
sekunder, Marco Polo mencatat cerita tentang
ritual kanibalisme di antara masyarakat
"Battas". Walau Marco Polo hanya tinggal di
wilayah pesisir, dan tidak pernah pergi
langsung ke pedalaman untuk memverifikasi
cerita tersebut, namun dia bisa menceritakan
ritual tersebut.
Niccolò Da Conti (1395-1469), seorang
Venesia yang menghabiskan sebagian besar
tahun 1421 di Sumatra, dalam perjalanan
panjangnya untuk misi perdagangan di Asia
Tenggara (1414-1439), mencatat kehidupan
masyarakat. Dia menulis sebuah deskripsi
singkat tentang penduduk Batak: "Dalam
bagian pulau, disebut Batech kanibal hidup
berperang terus-menerus kepada tetangga
mereka ".[18][19]
Thomas Stamford Raffles pada 1820
mempelajari Batak dan ritual mereka, serta
undang-undang mengenai konsumsi daging
manusia, menulis secara detail tentang
pelanggaran yang dibenarkan.[20] Raffles
menyatakan bahwa: "Suatu hal yang biasa
dimana orang-orang memakan orang tua
mereka ketika terlalu tua untuk bekerja, dan
untuk kejahatan tertentu penjahat akan
dimakan hidup-hidup".. "daging dimakan
mentah atau dipanggang, dengan kapur,
garam dan sedikit nasi".[21]
Para dokter Jerman dan ahli geografi Franz
Wilhelm Junghuhn, mengunjungi tanah Batak
pada tahun 1840-1841. Junghuhn mengatakan
tentang ritual kanibalisme di antara orang
Batak (yang ia sebut "Battaer"). Junghuhn
menceritakan bagaimana setelah
penerbangan berbahaya dan lapar, ia tiba di
sebuah desa yang ramah. Makanan yang
ditawarkan oleh tuan rumahnya adalah daging
dari dua tahanan yang telah disembelih sehari
sebelumnya.[22] Namun hal ini terkadang
dibesar-besarkan dengan maksud menakut-
nakuti orang/pihak yang bermaksud menjajah
dan/atau sesekali agar mendapatkan
pekerjaan yang dibayar baik sebagai tukang
pundak bagi pedagang maupun sebagai
tentara bayaran bagi suku-suku pesisir yang
diganggu oleh bajak laut.[23]
Oscar von Kessel mengunjungi Silindung di
tahun 1840-an, dan pada tahun 1844 mungkin
orang Eropa pertama yang mengamati ritual
kanibalisme Batak di mana suatu pezina
dihukum dan dimakan hidup. Menariknya,
terdapat deskripsi paralel dari Marsden untuk
beberapa hal penting, von Kessel menyatakan
bahwa kanibalisme dianggap oleh orang Batak
sebagai perbuatan berdasarkan hukum dan
aplikasinya dibatasi untuk pelanggaran yang
sangat sempit yakni pencurian, perzinaan,
mata-mata, atau pengkhianatan. Garam, cabe
merah, dan lemon harus diberikan oleh
keluarga korban sebagai tanda bahwa mereka
menerima putusan masyarakat dan tidak
memikirkan balas dendam.[24]
Ida Pfeiffer mengunjungi Batak pada bulan
Agustus 1852, dan meskipun dia tidak
mengamati kanibalisme apapun, dia
diberitahu bahwa: "Tahanan perang diikat
pada sebuah pohon dan dipenggal sekaligus,
tetapi darah secara hati-hati diawetkan untuk
minuman, dan kadang-kadang dibuat menjadi
semacam puding dengan nasi. Tubuh
kemudian didistribusikan; telinga, hidung, dan
telapak kaki adalah milik eksklusif raja, selain
klaim atas sebagian lainnya. Telapak tangan,
telapak kaki, daging kepala, jantung, serta
hati, dibuat menjadi hidangan khas. Daging
pada umumnya dipanggang serta dimakan
dengan garam. Para perempuan tidak
diizinkan untuk mengambil bagian dalam
makan malam publik besar ".[25]
Pada 1890, pemerintah kolonial Belanda
melarang kanibalisme di wilayah kendali
mereka.[26] Rumor kanibalisme Batak
bertahan hingga awal abad ke-20, dan
nampaknya kemungkinan bahwa adat tersebut
telah jarang dilakukan sejak tahun 1816. Hal
ini dikarenakan besarnya pengaruh agama
pendatang dalam masyarakat Batak.[27]
↑Kembali Ke Bagian Sebelumnya
Tarombo
Artikel utama untuk bagian ini adalah:
Tarombo
Silsilah atau Tarombo merupakan suatu hal
yang sangat penting bagi orang Batak. Bagi
mereka yang tidak mengetahui silsilahnya
akan dianggap sebagai orang Batak kesasar
( nalilu). Orang Batak diwajibkan mengetahui
silsilahnya minimal nenek moyangnya yang
menurunkan marganya dan teman semarganya
( dongan tubu). Hal ini diperlukan agar
mengetahui letak kekerabatannya
( partuturanna) dalam suatu klan atau
marga.
↑Kembali Ke Bagian Sebelumnya
Kontroversi
Sebagian orang Karo, Angkola, dan Mandailing
tidak menyebut dirinya sebagai bagian dari
suku Batak. Wacana itu muncul disebabkan
karena pada umumnya kategori "Batak"
dipandang rendah oleh bangsa-bangsa lain.
Selain itu, perbedaan agama juga
menyebabkan sebagian orang Tapanuli tidak
ingin disebut sebagai Batak. Di pesisir timur
laut Sumatera, khususnya di Kota Medan,
perpecahan ini sangat terasa. Terutama dalam
hal pemilihan pemimpin politik dan perebutan
sumber-sumber ekonomi. Sumber lainnya
menyatakan kata Batak ini berasal dari
rencana Gubernur Jenderal Raffles yang
membuat etnik Kristen yang berada antara
Kesultanan Aceh dan Kerajaan Islam
Minangkabau, di wilayah Barus Pedalaman,
yang dinamakan Batak. Generalisasi kata
Batak terhadap etnik Mandailing (Angkola)
dan Karo, umumnya tak dapat diterima oleh
keturunan asli wilayah itu. Demikian juga di
Angkola, yang terdapat banyak pengungsi
muslim yang berasal dari wilayah sekitar
Danau Toba dan Samosir, akibat pelaksanaan
dari pembuatan afdeeling Bataklanden oleh
pemerintah Hindia Belanda, yang melarang
penduduk muslim bermukim di wilayah
tersebut.
Konflik terbesar adalah pertentangan antara
masyarakat bagian utara Tapanuli dengan
selatan Tapanuli, mengenai identitas Batak
dan Mandailing. Bagian utara menuntut
identitas Batak untuk sebagain besar
penduduk Tapanuli, bahkan juga wilayah-
wilayah di luarnya. Sedangkan bagian selatan
menolak identitas Batak, dengan bertumpu
pada unsur-unsur budaya dan sumber-sumber
dari Barat. Penolakan masyarakat Mandailing
yang tidak ingin disebut sebagai bagian dari
etnis Batak, sempat mencuat ke permukaan
dalam Kasus Syarikat Tapanuli (1919-1922),
Kasus Pekuburan Sungai Mati (1922),[28] dan
Kasus Pembentukan Propinsi Tapanuli
(2008-2009).
Dalam sensus penduduk tahun 1930 dan 2000,
pemerintah mengklasifikasikan Simalungun,
Karo, Toba, Mandailing, Pakpak dan Angkola
sebagai etnis Batak.[29]
↑Kembali Ke Bagian Sebelumnya
Referensi
1. ^ Indonesia's Population: Ethnicity
and Religion in a Changing Political
Landscape . Institute of Southeast Asian
Studies. 2003. ISBN 9812302123.
2. ^ Peter Bellwood, Prehistory of the
Indo-Malaysian Archipelago, Revised
edition, University of Hawaii Press,
Honolulu, 1997
3. ^ Munoz, Paul Michel (2006). Early
Kingdoms of the Indonesian
Archipelago and the Malay Peninsula.
4. ^ Dobbin, Christine. Gejolak Ekonomi,
Kebangkitan Islam, dan Gerakan
Paderi, Minangkabau 1784 – 1847.
5. ^ Liddle, R.W. Ethnicity, party, and
national integration: an Indonesian
case study . New Haven: Yale University
Press.
6. ^ Castles, L. Statelesness and
Stateforming Tendencies Among the
Batak before Colonial Rule . Kuala
Lumpur: Monograph no 6 of MBRAS. p.
67-66.
7. ^ Tideman, J. Hindoe-Invloed in
Noordelijk Batakland. Amsterdam:
Uitgave van het Bataksche Institut no 23.
p. 56.
8. ^ Dobbin, Christine. Gejolak Ekonomi,
Kebangkitan Islam, dan Gerakan
Paderi, Minangkabau 1784 – 1847.
9. ^ Kipp, 1990.
10. ^ Burton, R. and Ward, N., "Report of a
Journey into the Batak Country, in the
interior of Sumatra, in the year 1824."
Transactions of the Royal Asiatic
Society, London 1:485-513.
11. ^ "Missionaries: The Martyrs of
Sumatra," in The Most of It: Essays on
Language and the Imagination. by
Theodore Baird, Amherst, Mass.:
Amherst College Press, 1999.
12. ^ Tuuk, H. N. van der, Bataksch
Leesbok, Stukken in het
Mandailingsch; Stukken in het
Dairisch. Amsterdam, 1861.
13. ^ Voorma, H.O. The Encounter of the
Batak People with Rheinische
Missions-Gesellschaft in the Field of
Education, 1861-1940, A Historical-
Theological Inquiry. (2000), p. 173.
14. ^ Ooi KG. Southeast Asia: A Historical
Encyclopedia, from Angkor Wat to
East Timor. Santa Barbara, Calif.: ABC-
CLIO, 2004.
15. ^ Sherman, George, Rice, Rupees and
Ritual, Cornell University Press, Ithaca,
NY 1990.
16. ^ Kushnick, G. "Parent-Offspring Conflict
Among the Karo of Sumatra," Doctoral
dissertation, University of Washington,
Seattle, 2006, p. 7.
17. ^ Polo M, Yule H, Cordier H. The Travels
of Marco Polo: The Complete Yule-
Cordier Edition,
Dover Pubns, 1993, Vol. II, Chapter X, p.
366.
18. ^ The Travels of Nicolò Conte [sic] in
the East in the Early Part of the
Fifteenth Century Hakluyt Society xxii
(London, 1857)
19. ^ Sibeth A, Kozok U, Ginting JR. The
Batak: Peoples of the Island of
Sumatra: Living with Ancestors. New
York: Thames and Hudson, (1991) p. 16.
20. ^ Nigel Barley (ed.), The Golden Sword:
Stamford Raffles and the East, British
Museum Press, 1999 (exhibition
catalogue). ISBN 0-7141-2542-3.
21. ^ Barley N. The Duke of Puddle Dock:
Travels in the Footsteps of Stamford
Raffles. 1st American ed. New York: H.
Holt, 1992, p. 112.
22. ^ Junghuhn, F., Die Batta-länder auf
Sumatra, (1847) Vol. II, p. 249.
23. ^ Junghuhn, p. 87
24. ^ Von Kessel, O., "Erinnerungen an
Sumatra," Das Ausland, Stuttgart (1854)
27:905-08.
25. ^ Pfeiffer, Ida, A Lady's Second Journey
Around the World: From London to
the Cape of Good Hope, Borneo, Java,
Sumatra, Celebes, Ceram, the
Moluccas, etc., California, Panama,
Peru, Ecuador, and the United States.
New York, Harper & Brothers, 1856, p.
151.
26. ^ Sibeth, p. 19.
27. ^ Kipp RS. The early years of a Dutch
Colonial Mission: the Karo Field. Ann
Arbor: University of Michigan Press,
1990.
28. ^ Perret, Daniel. La Formation d'un
Paysage Ethnique: Batak & Malais de
Sumatra Nord-Est . Paris: Ecole
francaise d'Extreme-Orient. p. 316-325.
29. ^ (Inggris) Leo Suryadinata, Evi Nurvidya
arifin, Aris Ananta, Indonesia's
Population: Ethnicity and Religion in
a Changing Political Landscape
, Institute of Southeast Asian Studies,
Singapura, hal.48.
l

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TAPANULI NADEGES BLOGNYA ORANG TAPANULI

Masyarakat Tapanuli juga bisa berperan dalam mengirimkan berita tentang tapanuli, baik itu budaya, adat istiadat, peristiwa alam, perjalanan, maupun karya seni seperti photo video, cerpen dll. dapat dikirimkan ke email: tapanulinadeges@gmail.com http://tapanulinadeges.blogspot.com/2013/11/mari-kirimkan-karyamu-ke-tapanuli.html

Tapanuli Tanah yang kaya dan masyarakatnya beradat
Assalamualaikumwarahmatullahiwabarakatuh